Foto: Ilustrasi donor darah
Jajak.net – Serlenso mempercepat laju sepeda motornya, ketika ia mendapat telepon dari saudaranya, mengabarkan bahwa tantenya yang baru masuk di IGD RSUD Borong pada Jumat sore, 21 Maret 2025, membutuhkan transfusi darah segera. Tiba di Borong — Ibukota Kabupaten Manggarai Timur — sekitar pukul 18.00 Wita, warga Desa Rana Gapang, Kecamatan Elar itu, langsung menuju rumah sakit.
“Adik yang (sebelumnya) telpon saya itu bilang bahwa kami harus segera cari pendonor darah untuk golongan darah B,” katanya kepada Jajak.net pada Selasa malam, 25 Maret.
Tante Serlenso dirujuk dari Puskesmas Elar dengan kondisi “hemoglobin rendah.”
Petugas medis di IGD menyarankan agar keluarga segera mengecek stok darah ke PMI, karena pasien membutuhkan enam kantong darah. Namun, di Unit Donor Darah (UDD) PMI, stok darah B sedang tidak tersedia.
PMI, kata Serlenso, “meminta kami keluarga pasien untuk mencari pendonor darah di luar.”
Hari sudah mulai gelap. Kondisi tantenya, kata Serlenso, semakin kritis. “Saya semacam pusing. Tante sekarat, di sisi lain kami harus segera meninggalkannya di rumah sakit untuk pergi cari pendonor. Dilema sekali,” katanya.
Bersyukur, katanya, “malam itu dapat satu pendonor di Koramil Borong sehingga bisa membantu tante dalam kondisi darurat.”
“Keesokannya, kami juga dapat pendonor dari Polres Manggarai Timur dan juga keluarga dari Kota Komba,” katanya.
Hingga Selasa sore, Serlenso masih mencari satu pendonor darah lagi untuk menggenapi enam kantong darah sesuai permintaan petugas medis.
Tak hanya Serlenso, Jef Nyoman, salah satu warga Elar Selatan yang bekerja di Borong, juga menceritakan pengalamannya saat menyaksikan seorang anggota keluarga pasien terpaksa mendonorkan darah dalam kondisi kelelahan akibat ketiadaan stok darah di RSUD Borong dan PMI Manggarai Timur.
“Pasien itu adalah tante saya dari Watunggong. Dia adalah pasien melahirkan yang dirujuk dari Rumah Sakit Pratama Watunggong dan tiba tengah malam di RSUD Borong,” ujar Jef, yang ikut serta mendampingi tantenya tersebut saat dirawat di rumah sakit itu.
Menurutnya, kondisi kritis pasien akibat perdarahan membuat pihak rumah sakit meminta keluarga untuk mengecek ketersediaan darah golongan O di PMI. Setelah diperiksa, ternyata stok darah tersebut habis. PMI pun meminta keluarga untuk mencari pendonor.
“Kondisi saat itu memang sangat sulit, terutama karena sudah tengah malam. Akhirnya, adik yang ikut mengantar tante dari Watunggong memutuskan untuk mendonorkan darahnya, karena kebetulan golongan darah mereka sama,” katanya.
Petugas di PMI, kata dia, memang memeriksa kondisi keluarga pasien itu, sebelum proses pendonoran darah. Mereka menanyakan kesanggupannya, dan karena tidak ada lagi orang yang bisa mendonorkan darah, keluarga pasien itu menyatakan siap meski dalam kondisi lelah setelah perjalanan jauh.
Namun, saat proses donor dimulai, darah yang diambil belum mencapai setengah kantong, pendonor dari keluarga pasien itu sudah tampak lemas.
“Akhirnya, pengambilan darah tersebut dihentikan,” katanya.
RSUD Borong Belum Ada UTD, Order Darah ke PMI
Dokter Kresensia Nensy, Direktur RSUD Borong, tidak membantah terkait keluhan keluarga pasien terhadap kekurangan stok darah di rumah sakit itu.
Menurutnya, rumah sakit belum punya unit khusus untuk pelayanan darah, sehingga selama ini kebutuhan darah sepenuhnya disuplai oleh PMI Manggarai Timur.
Ia berkata, kalau ada kebutuhan darah, RSUD Borong mengorder ke PMI.
“Darah itu kan sama seperti obat. Dia itu diorder. Kalau obat itu tersedia di rumah sakit karena ada unitnya yaitu Unit Farmasi. Namun, darah ini belum ada unitnya di rumah sakit,” katanya saat diwawancarai Jajak.net di ruangan kerjanya pada Kamis, 27 Maret.
Sama seperti obat, kata dia, “kalau tidak ada di kami, berarti mengganti biaya pengelolaan darah ke luar. Ya, itu sudah mengganti biaya pengelolaan darah ke PMI. Mengganti biaya pengelolaan darah oleh rumah sakit ke PMI.”
Dengan sistem yang seperti itu, kata dia, “kerepotannya adalah pas waktu pasien perlu (darah) mendadak.”
“PMI ini kan ada di luar rumah sakit. Pasien di rumah sakit mencari darah ke PMI. Minta darahnya ke PMI,” katanya.
Namun, sejak akhir Februari 2025, kata dia, RSUD Borong mulai membuka Unit Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) untuk menyimpan darah.
“Kami kalau dulunya (menyimpan darah) di PMI itu, setiap pasien perlu baru pergi order di PMI, maka sekarang kami yang order langsung banyak stok, lalu disimpan di BDRS. Begitu pasien perlu baru dilayani,” katanya.
Meski demikian, kata Dokter Kresensia, kekurangan stok darah masih kerap terjadi. Seperti yang terjadi pada dua minggu lalu, stok darah B juga habis karena tingginya permintaan untuk golongan darah tersebut.
Ia menduga, masalah kekurangan stok darah karena orang yang mau donor terbatas.
“PMI itu kan kemana-mana untuk cari darah. Mungkin, kebutuhan darah di rumah sakit tinggi, sementara produksi dari PMI itu kurang. Itu kendalanya. Sehingga, dicarikan dari keluarga pasien. Itu sistemnya,” katanya.
Ia berkata bahwa RSUD Borong telah menjalin kerja sama dengan PMI Manggarai Timur mengenai pelayanan darah.
“MoU itu, seperti yang saya bilang tadi, kami itu order ke mereka, mengganti biaya pengelolaan darah ke PMI untuk stok kami,” katanya.
‘Biaya pengelolaan’ darah itu, kata dia, termasuk dalam paket pelayanan rumah sakit. “Sama kaya obat. Kalau pasien umum, dia dibayar. Kalau pasien BPJS sudah masuk dalam paketnya,” katanya.
Dokter Kresensia menjelaskan, rumah sakit “mengganti biaya pengelolaan darah seperti kantong, reagen.”
Ia mengatakan, sebelum ada BDRS, ‘biaya pengelolaan darah’ yakni Rp490 ribu per kantong.
“Sekitar sebulan ini karena sudah ada BDRS, biaya itu dikurangi Rp90 ribu menjadi Rp400 ribu per kantong,” katanya.
Dokter Kresensia menjelaskan bahwa sesuai dengan pasal 52 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 83 Tahun 2014 tentang Unit Darah Rumah Sakit, Bank Darah Rumah Sakit, dan Jejaring Pelayanan Transfusi Darah, “biaya penggantian pengolahan darah di Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) merupakan biaya yang dibebankan kepada masyarakat atas penyelenggaraan kegiatan pengelolaan darah dari UTD dan biaya penyelenggaraan pelayanan darah di BDRS dan ditetapkan oleh kepala/direktur rumah sakit.
Merujuk Keputusan Pengurus Pusat PMI tahun 2023, juga memang ada Biaya Pengganti Pengolahan Darah (BPPD) — bukan ‘biaya pengelolaan darah’ — yang nilainya Rp490 ribu per kantong.
Namun, di sejumlah kabupaten/kota di Indonesia, bupati/walikota membuat peraturan terkait BPPD.
Sementara, di Manggarai Timur, belum ada Peraturan Bupati yang mengatur BPPD.
Dokter Kresensia berkata, ke depannya rumah sakit harus punya Unit Donor Darah atau Unit Transfusi Darah (UTD).
Saat ini, kata dia, gedung untuk pelayanan darah di RSUD Borong sudah dibangun. Namun, “salah satu yang menghambat kami itu koneksi IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limba) sebenarnya.”
“IPAL-nya belum tersedia, sehingga kami belum berani untuk membuka UTD,” katanya.
Selain itu, kata dia, keterbatasan tenaga juga menghambat pembentukan UTD di rumah sakit tersebut.
“Kami punya tenaga UTD ini baru ada dua. Pelayanan darah ini kan 24 jam. Kita tidak bisa paksakan dua orang ini bekerja 24 jam. Kami tidak punya tenaga pengelola darah makanya belum bisa jalan UTD,” katanya.
PMI Klaim Selalu Bergerak Mencari Donor Darah Pengganti
Alfred Tuname dari PMI Manggarai Timur membuat pembelaan atas keluhan masyarakat terkait stok darah yang sering kosong di Unit Donor Darah lembaga tersebut.
Menurutnya, tak selalu stok darah di PMI kosong. Kalau stok darah kosong dan di saat bersamaan ada pasien yang membutuhkan transfusi darah, “PMI Matim tidak diam.”
“PMI ikut bergerak mencari donor darah pengganti. Informasi itu akan disebarkan ke semua jaringan, medsos, grup-grup WA bahkan juga telp langsung calon pendonor,” katanya seperti dalam opini yang dimuat Detakterkini.com pada Kamis, 27 Maret.
Alfred juga menulis dalam opininya itu, “layanan darah diurus oleh organisasi kemanusiaan PMI, karena darah manusia tidak boleh diperjualbelikan.”
“Tidak dibenarkan perdagangan darah manusia. Itu melanggar hukum dan hak asasi manusia,” katanya.
Saat ini, tulis Alfred, layanan donor darah di Manggarai Timur dilakukan oleh UDD PMI. UDD PMI adalah bagian dari kerja kemanusiaan. PMI adalah organisasi kemanusiaan, bukan organisasi laba atau perusahaan profit.
“UDD itu bukan ‘usaha dagang darah’; UDD itu bukan ‘BLUD’ dalam organisasi kemanusiaan PMI. UDD PMI itu taat bekerja dalam prinsip kemanusian Palang Merah,” katanya.
Klaim Alfred dalam opininya itu, berbeda dengan apa yang dialami Serlenso. Warga Rana Gapang itu mengatakan, “kalau PMI betul lembaga kemanusiaan, mengapa perlakuan mereka kepada kami tidak manusiawi?”
Kalau PMI Manggarai Timur benar-benar bekerja untuk kemanusiaan, kata dia, “mereka bantu keluarga pasien untuk dapatkan pendonor.”
“Yang kami alami, PMI tidak pernah membantu untuk hubungkan kami dengan mereka punya jaringan yang selama ini menjadi pendonor darah sukarela yang telah bekerja sama dengan PMI.”
“Itu yang kami kecewa. Dari enam kantong darah yang dibutuhkan, tak satupun dibantu oleh PMI,” katanya.
PMI Harus Dievaluasi
Maximilianus Herson Loi, salah satu tokoh muda Manggarai Timur mengatakan, kehadiran PMI di Manggarai Timur sebenarnya sudah bagus, dengan harapan bahwa bisa menjadi solusi atas beban yang selama ini dihadapi oleh masyarakat, khususnya pasien dan keluarga pasien yang berurusan dengan transfusi darah.
“Di tengah rumah sakit kita yang masih terbatas, belum ada unit donor darah, PMI menjadi satu-satunya tempat bagi keluarga pasien untuk mendapatkan darah sehingga bisa membantu mengurangi beban keluarga pasien dalam konteks menyembuhkan pasien yang sakit yang membutuhkan transfusi darah. Artinya darah itu menjadi penyelamat nyawa pasien yang sedang terbaring,” katanya.
Namun, katanya, sangat disayangkan ketika PMI yang dikenal sebagai organisasi kemanusiaan, justru hanya memberi beban kepada keluarga pasien untuk mencari pendonor ketika stok darah tidak ada di Unit Donor Darah.
Semestinya, kata dia, PMI ikut serta membantu untuk mencari pendonor dengan menghubungi mitra mereka di berbagai instansi, lembaga atau perorangan yang sudah bekerja sama.
“Karena ketika pasien itu berurusan dengan rumah sakit, keluarga pasien disuruh oleh dokter misalnya mencari darah, mencari pendonor, dalam keterbatasan, apalagi kalau misalnya pasien dari kampung, dalam kondisi seperti itu pasti dia beban dan tidak tahu mau cari ke mana. Satu-satunya jalan buat dia, ke PMI,” kata Herson.
Dalam konteks orang awam, kata dia, “bicara PMI, ini tempatnya bahwa darah itu pasti tersedia di sana.”
“Ketika misalnya stok di PMI tidak ada, sekiranya itu menjadi tugas PMI untuk memenuhi kebutuhan dari keluarga pasien ini. PMI mesti ikut serta mencari pendonor. Bukan lagi hanya menyuruh keluarga pasien.”
“Kalau PMI hanya suruh keluarga pasien, ibaratnya orang sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Artinya, di satu sisi dia sudah beban pikir saudaranya yang sakit ini entah selamat atau tidak, di sisi lain PMI juga memberi beban ke dia,” katanya.
Kalau sudah seperti itu, kata Herson, apalah artinya keberadaan PMI di Manggarai Timur.
“Kalau alasan PMI dana terbatas, dan lain sebagainnya itu, bagi saya, itu kan berkaitan dengan kebijakan. Tinggal disampaikan saja kepada pemerintah daerah, kepala DPRD. Supaya bisa alokasikan dana yang cukup. Tetapi tidak bisa sebagai alasan untuk membenarkan kekosongan darah di PMI. Lalu kemudian membenarkan juga PMI menyuruh keluarga pasien untuk mencari pendonor. Itu tidak boleh,” katanya.
Herson berkata, “Kalau sudah seperti itu, kita bisa meminta pemerintah daerah dan DPRD harus evaluasi sistem dan manajemen pengelolaan di PMI.”
Evaluasi, kata dia, sangat penting untuk melahirkan konsep-konsep pengelolaan yang baru yang lebih maksimal dalam memberikan pelayanan, sehingga bisa menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya pasien yang butuh transfusi darah.
“Evaluasi karena ada dana dari masyarakat yang digunakan oleh PMI baik hibah maupun biaya pengganti pengelolaan darah itu.”
Kalau tidak dievaluasi, kata Herson, maka apa yang dialami oleh Serlenso, “bukan tidak mungkin akan dialami oleh kita yang lain ini.”
Penulis: Rosis Adir | Editor: Aidan Putra
Catatan Redaksi: Frasa ‘beli darah’ pada judul dan sebagian isi artikel ini telah disunting dan digantikan dengan ‘biaya pengelolaan darah’ karena dikoreksi oleh narasumber kami, Dokter Kresensia Nensy, Direktur RSUD Borong.
Dokter Kresensia Nensy mengirimkan Hak Koreksi melalui email redaksi Jajak.net dan dibaca oleh tim redaksi pada Selasa malam, 1 April 2025.
Sebagai media yang menjunjung tinggi Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik serta Pedoman Pemberitaan Media Siber, Jajak.net melakukan penyuntingan sesuai permintaan narasumber yang mengajukan hak koreksinya.


