Foto: Romanus saat ditemui di rumahnya pada Selasa, 4 November 2025.
Jajak.net – “Kalau mereka larang kami jual sopi, bagaimana kami memenuhi kebutuhan hidup?” kata Romanus Jehabut (60), lirih.
Pria langsing berambut putih itu adalah suami dari Anastasya Naus — perempuan yang terkena razia polisi di Pasar Borong, Kabupaten Manggarai Timur, pada Senin, 3 November 2025, karena menjual sopi, minuman beralkohol tradisional khas Flores.
“Sopi itu satu-satunya sumber hidup kami dari dulu,” tambah Romanus dalam bahasa daerah Manggarai.
Saya bertemu Romanus di rumahnya di Kampung Loca, Desa Sano Lokom, Kecamatan Rana Mese pada Selasa, 4 November.
Kampung Loca terbentang di lereng perbukitan, dikelilingi pohon-pohon enau yang warga sebut tuak.
Hampir semua warga di kampung itu menggantungkan hidup dari hasil sadapan nira yang disuling menjadi sopi.
Dari penjualan sopi, mereka memenuhi kebutuhan rumah tangga, termasuk biaya sekolah anak-anak.
“Kami di sini hampir semua petani. Selain hasil kebun, hanya pohon-pohon tuak itu yang bisa kami andalkan,” kata Romanus.

Tulang Punggung Keluarga
Saat saya datang, Anastasya sedang tidak berada di rumah. Ia sudah berangkat ke Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur, yang terpaut 30-40 kilometer arah timur dari Kampung Loca.
“Dia ke Borong untuk beli beras,” kata Romanus.
Sudah lebih dari lima tahun, setelah Romanus sakit-sakitan dan tak lagi bisa bekerja, Anastasya menjadi tulang punggung keluarga. Ia rutin bolak-balik ke Pasar Borong untuk menjual sopi.
“Sejak saya sakit, dia yang urus semuanya. Jual sopi ke pasar supaya kami bisa makan,” kata Romanus.
Namun, pada Senin pagi, Anastasya ditangkap dalam razia yang digelar aparat Polres Manggarai Timur di Pasar Borong.
Polisi menyita tujuh jeriken atau sekitar 210 liter sopi dan membawa Anastasya ke kantor untuk dimintai keterangan.
Langkah itu merupakan bagian dari operasi penertiban minuman beralkohol tradisional atas perintah Kapolda NTT, dengan alasan menjaga ketertiban menjelang akhir tahun.
Polisi menilai peredaran sopi tanpa izin melanggar aturan tentang minuman beralkohol.

Warga Kritik Polisi
Kebijakan itu memicu reaksi keras dari masyarakat. Warga menilai langkah kepolisian tebang pilih karena hanya menertibkan sopi, sementara barang ilegal lain seperti rokok tanpa cukai dan oli palsu justru dibiarkan beredar bebas.
Akun Lois Desong menulis di grup Forum Peduli Manggarai Timur, “Kalau rokok ilegal apa kabar?”
Komentar serupa datang dari Frederic Barerra yang menyinggung, “Sparepart di bengkel juga dicek, oli (palsu) dan lain-lain itu bagaimana?”
Akun Pabllo Egon bahkan menilai kebijakan itu menutup sumber penghidupan masyarakat kecil.
“Itu pekerjaan pokok kami yang tidak bergelar, Pak. Sama saja Bapak menutupi pintu cari makan kami. Bagaimana dengan para pejabat yang membelanjakan uang rakyat?” tulisnya.
Sementara Simin Nambut mengatakan dirinya “tidak sepenuhnya setuju” dengan langkah polisi.
“Tujuan menjaga ketertiban memang baik, tapi pendekatannya kurang mempertimbangkan nilai budaya dan aspek ekonomi masyarakat lokal,” ujarnya.
Menurut Simin, sopi bagi masyarakat Flores bukan sekadar minuman keras, tetapi bagian dari tradisi dan identitas budaya yang diwariskan turun-temurun.
“Menertibkan tanpa memberi ruang dialog dan solusi alternatif sama saja dengan menghapus bagian penting dari kearifan lokal,” tulisnya.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah daerah mengambil langkah pembinaan dan legalisasi bagi produsen sopi tradisional yang memenuhi standar keamanan.
“Dengan begitu, masyarakat tidak kehilangan mata pencaharian dan pemerintah tetap bisa mengawasi peredarannya,” katanya.
Di Kampung Loca, hampir setiap rumah memiliki tungku penyulingan sederhana. Di pondok-pondok kecil di kebun, warga saban hari memasak air nira yang ditampung dari pohon-pohon enau. Proses itu telah diwariskan turun-temurun.
Bagi mereka, sopi bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol kerja keras, bagian dari ekonomi rakyat kecil yang tumbuh dari keringat sendiri — bukan produk industri besar yang mudah diatur dengan izin dan pajak.
“Kalau tidak jual sopi, kami mau makan apa?” kata Romanus. “Kami bukan mabuk-mabukan, tapi jual untuk hidup.”



Post Comment