Foto: Seorang warga binaan Rutan Kelas IIB Ruteng sedang memanen buncis untuk dijual. [Jajak.net]
Jajak.net – Bedeng-bedeng berbagai jenis tanaman hortikultura berjajar apik di sisi timur dan utara bangunan bekas Rumah Tahanan (Rutan) di pusat kota Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Di areal seluas sekitar 3000 meter persegi itu, aneka jenis tanaman hortikultura seperti, sayur, kacang, tomat, lombok, terung dan beberapa lainnya, tampak bertumbuh subur.
Sejumlah lelaki dewasa terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing di kebun hortikultura tersebut pada Rabu sore, 9 April 2025. Ada yang sedang membersihkan gulma di sela-sela tanaman, ada juga yang sedang memanen sayur.
“Ini mau dijual. Ada yang pesan,” kata salah satu pekerja yang sedang memetik buncis pada sore itu.
Para pria yang bekerja tersebut adalah warga binaan Rutan Kelas IIB Ruteng yang berlokasi di Labe, Kelurahan Carep, sekitar tiga kilometer arah timur dari pusat kota itu.
Mereka mulai mengelola lahan tidur di sekitar Rutan lama tersebut sejak Desember 2024.
Heri Sutriadi, Kepala Rutan Kelas IIB Ruteng mengatakan areal pengembangan hortikultura tersebut awalnya adalah lahan tidur.
“Mungkin dulu pernah dimanfaatkan oleh warga binaan. Tapi informasinya ini tidak dikelola sejak tahun 2000-an,” katanya.
Melihat potensi lahan yang ada itu, katanya, mereka bersepakat mengolahnya untuk mendukung program ketahanan pangan yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo.
“Selain menunjang ketahanan pangan, (pengembangan hortikultura) ini juga merupakan bagian dari program pembinaan,” kata Heri yang menjabat Kepala Rutan Ruteng sejak 2022 itu.
Program pengembangan hortikultura itu juga, kata dia, merupakan salah satu cara untuk mengubah stigma masyarakat tentang lembaga pemasyarakatan yang identik dengan penyiksaan.
“Bahwasannya lembaga pemasyarakatan dalam mindsetnya bukan penyiksaan atau pemenjaraan lagi. Mindsetnya pembinaan manusia.”
“Masuk ke dalam Rutan atau Lapas yang kata orang itu adalah penjara, kan pastinya takut akan digebukin dan sebagainya. Kita coba ubah mindset yang tadinya penyiksaan menjadi pembinaan,” katanya.
Ia berkata, petugas melakukan asesmen terlebih dahulu terhadap warga binaan yang mengelola kebun hortikultura itu.
“Kami asesmen, apakah tingkah lakunya bisa dipercaya atau tidak. Kami cari tahu kebiasaannya waktu di luar (Rutan), latar belakang pekerjaan atau hobinya. Apakah biasa bertani atau tidak,” katanya.
Warga binaan yang terpilih, kemudian diajak untuk mengelola hortikultura.
Ia berkata, lima persen dari hasil pengelolaan kebun hortikultura itu, dijual kepada pemborong yang kemudian dimasak untuk konsumsi warga binaan.
“Selebihnya kita jual kepada masyarakat sekitar maupun pemborong-pemborong atau pedagang dari pasar yang langsung datang beli di lokasi karena ini di tengah kota sehingga gampang mengaksesnya,” katanya.
GT, salah satu warga binaan, mengatakan, dirinya senang terlibat dalam pengembangan hortikultura karena bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman baru tentang pertanian.
“Kebetulan saya juga petani. Tapi, saya baru pertama kali belajar untuk tanam sayur dengan teknik seperti ini,” kata pria 54 tahun itu, sembari membersihkan gulma di sela-sela tanaman tomat.
“Kami diajarkan untuk membuat bedeng, mengatur jarak tanaman, dan pembuatan pupuk kompos dari kotoran ternak,” katanya.
Ia juga mengatakan, dirinya bersyukur terlibat dalam program itu karena bisa melihat dunia di luar Rutan dan berinteraksi dengan warga lain di luar tahanan.
“Senang, di sini bisa bertemu dengan banyak orang yang datang beli sayur. Kalau di dalam (Rutan) terus, kita jenuh juga,” katanya.
GT bertekad, kelak ketika kembali ke tengah keluarganya, ia akan mempraktekkan pengelolaan kebun hortikultura untuk menopang ekonomi.
“Ini pengalaman baru yang harus saya bawa dan praktek ketika bebas nanti,” katanya.
Penulis: Rosis Adir | Editor: Aidan Putra